MEDIA CENTER REJANG LEBONG – Ketika Peringatan Hari Pahlawan ke-78 dilaksanakan di titik pertempuran di Desa Taba Renah, Curup Utara, Jum’at (10/11), maka, kisah pertempuran sengit antara pasukan tentara kemanan rakyat (TKR) yang diperkuat laskar rakyat Curup melawan pasukan Jepang kembali terlintas.

Jembatan Taba Renah yang membentang di atas Sungai Musi menjadi saksi bisu kegagahan dan keberanian para pejuang kemerdekaan dan mengusir pasukan penjajah Jepang. Untuk itu, Tim Media Center berusaha menghimpun informasi terkait pertempuran di Taba Renah dari berbagai sumber. Diantaranya, Mamat Yudhianto anggota Legion Veteran RI yang ditemui usai upacara hari Pahlawan di Lapangan Tugu Taba Renah.

‘’Rekan rekan saya sudah banyak yang meninggal. Tapi saya masih ingat kisah pertempuran di Taba Renah ini. Misalnya lokasi upacara ini merupakan tempat para pejuang berjibaku melawan pasukan Jepang. Saat itu, pasukan Jepang berada di seberang Sungai Musi ini dan terus membombardir pasukan kita dengan tembakan senjata berat. Tapi, pasukan kita yang dipimpin Lettu. Arifin Djamil terus bertahan dan melakukan perlawanan mati-matian. Bahkan Arifin Djamil dan pasukannya mampu meledakan jembatan untuk menghambat laju serangan pasukan Jepang,’’ tutur Mamat yang kini berusia 70 tahun lebih.

Cerita Mamat Yudhianto itu sama dengan kisah pertempuran Taba Renah yang ditulis Firmansyah. Pak guru yang akrab disapa Emong Swandi itu juga memaparkan jalannya pertempuran berdarah di Taba Renah dalam buku berjudul ‘’Perang di Tanah Rejang’’

Dicerita Emong, perang Taba Renah merupakan salah satu aksi heroic para pejuang Curup dalam mengusir penjajah Jepang. Sebab, setelah Ir.Soekarno menyatakan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Jepang belum juga meninggalkan Indonesia. Termasuk angkat kaki dari Kota Curup. Makanya, para TKR berusaha melakukan pengusiran terhadap Jepang. Misalnya aksi penyerangkan maskas Jepang di Kota Kepahiang yang dipimpin Kolonel Santoso. Dalam penyerbuan itu Santoso gugur sebagai syuhada. Sementara pasukannya yang berhasil menyelamatkan diri kembali ke Kota Curup. Pasukan ini dipimpin Kapten Arifin Djamil.

Akhir September 1945, TKR sempat melakukan pawai dengan memperlihatkan kekuatan secara terbuka di jalan protocol Kota Curup. Mulai dari depan Markas Militer Jepang di Benteng (kini Kodim 0409) hingga ke Katakura di Kawasan Dwi Tunggal. Ini merupakan perang tanpa peluru.

Tanggal 26 Oktober 1945, Indra Caya selaku Redisen Bengkulu memerintahkan seluruh masyarakat untuk melakukan aksi mogok umum terhadap Jepang selama 1 pekan tapi tanpa provokasi dan perlawanan terhadap Jepang. Di Curup seluruh rakyat mogok dan menghentikan seluruh aktivitas dengan Jepang. Pegawai kantor tidak masuk. Pedagangpun tidak berjualan di pasar.

Pada 27 Oktober 1945 Syucokan Bengkulu, Z.Imamura resmi menyerahkan pemerintahan kepada Keresidenan Bengkulu. Untuk itu, aksi mogokpun dihentikan. Namun, pasukan TKR di Curup tidak mematuhi instruksi Residen. TKR Kompi Curup justru merampas dan melarikan 3 mobil Jepang. Lalu BBM mobil itu dikuras.

Komandan Jepang berusaha menghubungi Arifin Djamil untuk mendapatkan Kembali 3 mobil yang dirampas TKR. Bahkan Komandan Jepang, Takahashi dan anak buahnya mendatangi Markas TKR di Dusun Curup dan menuduh TKR sebagai biang dibalik perampasan 3 mobil Jepang. Pertengkaran hebatpun terjadi. Namun, prajurit Jepang itu akhirnya berbalik arah dan meninggalkan Markas TKR.

Awal Desember 1945, Komandan TKR Bengkulu, Mayor Berlian Bersama beberapa perwira tiba di Curup untuk meredam permusuhan TKR dengan Jepang. Lettu. Arifin Djamil dan pasukan diperintahkan untuk meninggalkan Kota Curup menuju Lebong Tandai dan ditugasi untuk membuat pahan peledak. Jepang terus berusaha mencari untuk menangkap Arifin Djamil. Bahkan, Bakarudin Tuib, salah satu anggota TKR pasukan Arifin ditangkap Jepang. Di markas Bakarudin berjumpa dengan beberapa penghianat. Barlian meminta Jepang untuk melepas Bakarudin. Tapi, ditolak. Bakarudin akan dilepas jika ditukar dengan Arifin Djamil. Barlian marah dan seluruh TKP dikumpulkan untuk menyerbu Markas Jepang.

Serangan akan dilakukan tepat pukul 00.00 WIB, 17 Desember 1945. Dimulai dengan pemadaman listrik PLTA Tes. Pos pertahanan Jepang yang kini menjadi Markas Yonif 144 Jaya Yudha dan Pos militer di Suban Ayam diserbu. Termasuk pesangrahan Kawasaki di belakang Pasar Bang Mego, pabrik tenun di J lSukawati dan Hotel Park di depan Pemadam Kebakaran.

Curup gelap gulita. Dalam pertempuran itu, Bakarudin berhasil diselamatkan oleh Zakaria Kamidan. Menjelang subuh serangan dihentikan. Pasukan bergerak ke arah Bukit Daun dan membuat pertahanan di Taba Renah.

Pagi hari 17 Desember 1945, Jepang melakukan pembersihan. Pos pos pertahan TKR diserbu. Pasar Bang Mego juga diserbu. Bahkan, pada Fajar 22 Desember 1945, Jepang menyerangkan pos pertahanan TKR di Taba Renah. Rumah rakyat dibakar dan tembakanpun dilepas. Pos TKR yang dipimpin Mayor Barlian dibombardir. Karena memiliki sedikit senjata dan manunisi membuat TKR

Sehingga saat digempur TKR kesulitan. Untuk menghambat pergerakan Jepang pasukan TKR terpaksa meledakan dan menghancurkan jembatan. Namun, pasukan Jepang terus merangsek dengan menyeberangi Sungai Musi yang saat itu air sedang dangkal. Dalam pertempuran itu, banyak korban yang terluka dan gugur. Kalah jumlah dan kalah senjata, TKR akhirnya bergerak mundur ke arah Rimbo Pengadang. (rhy)

Editor : Rahman Jasin