MEDIA CENTER REJANG LEBONG – Cahaya Perempuan Women’s Crisis Centre (WCC) Bengkulu menggelar Pertemuan Peningkatan Kapasitas Forum Multi Stakeholders (FMS) dan Femokrat Tingkat Provinsi. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Cordela Inn Bengkulu, Senin (19/5).

Kegiatan ini diikuti oleh berbagai perwakilan instansi 3 kabupaten, yakni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahiang, dan Kabupaten Seluma, diantaranya Dinas PMD, Diskominfo, Kemenag, DP3APPKB, Bappeda, Puskesmas, Dinas Kesehatan dan Dikbud.

Kegiatan dibuka langsung oleh Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Leksi Oktavia.

“Kegiatan ini dilakukan di tingkat provinsi untuk melihat perkembangan kita di masing-masing kabupaten dalam upaya pencegahan dan penanganan perempuan perkawinan usia anak. Sebagai informasi Provinsi Bengkulu menempati posisi ke-7 se-Indonesia sebagai provinsi dengan kasus perkawinan anak dan kekerasan seksual”, ujar Leksi.

Pihaknya meminta dari para multi stake holder agar bisa mendorong kebijakan ini. Karena kemampuan Cahaya Perempuan masih sangat terbatas. Kebijakan ini harus kita mulai dari tingkat paling bawah yaitu tingkat desa karena desa lah yang paling dekat dengan masyarakat.

“Melalui peningkatan kapasitas ini harapannya kita sama-sama sudah memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya untuk melakukan pencegahan dan penanganan perempuan pernikahan usia anak serta korban kekerasan,” tutupnya.

Selanjutnya pemaparan materi oleh narasumber secara daring yang disampaikan oleh Rohika Kurniadi Sari, SH., M.Si selaku Purnabakti Asdev KPPA yang membahas secara mendalam pencegahan perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan.

Kesetaraan gender dan penguatan peran perempuan menjadi salah satu fokus presiden dan wakil presiden. 3 program yang menjadi fokus Menteri PPPA saat ini yaitu :

1. Integrasi program desa/kelurahan ramah perempuan dan peduli anak
2. Perluasan fungsi call centre SAPA129 yang tidak hanya dapat melayani kasus kekerasan
3. Percepatan pengembangan satu data gender dan anak

Faktor pendorong terjadinya perkawinan anak antara lain :

1. Pengaruh lingkungan dan pergaulan anak yang berpotensi mendorong kehamilan remaja yang berujung pada perkawinan anak
2. Kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan kehamilan yang tidak diinginkan
3. Pola asuh keluarga yang kurang baik
4. Menikahkan anak karena faktor ekonomi untuk mengurangi beban keluarga
5. Kurang optimalnya penegakan hukum dan penerapan dispensasi kawin dalam praktik di lapangan
6. Adat dan budaya yang dianggap sebagai stigma, nilai dan kepercayaan yang harus diikuti
7. Rendah pendidikan yang memicu anak dan orang tua untuk menyetujui perkawinan anak

Upaya pencegahan perkawinan usia anak dapat dilakukan dengan adanya Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA), Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA), Puskesmas Ramah Anak (PRA), Pusat Kreativitas Anak (PKA); Rumah Ibadah Ramah Anak.

Upaya lainnya yang telah dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanganan perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan adalah

1. pengembangan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) untuk promosi dan publikasi
2. Literasi dan penyadaran publik untuk pencegahan dan penanganan melalui kampanye
3. Aktivasi call center SAPA 129 serta standarisasi layanan UPTD-PPPA dan PUSPAGA
4. Pendampingan model desa ramah perempuan dan peduli anak
5. Alokasi DAK non fisik untuk pencegahan pelayanan dan penguatan kapasitas SDM pengelola layanan

“Mudah-mudahkan kita terus melakukan upaya pencegahan dan penanganan perkawinan usia anak,” tutupnya.

Setelah pemaparan materi oleh narasumber selanjutnya dilakukan diskusi dan presentasi ke-3 Kabupaten mengenai pengalaman FMS dan Femokrat dalam aspek advokasi issue penghapusan perkawinan usia anak. (Vanny)