AI Hanya Cermin: Semakin Bodoh Penggunanya, Semakin Tersingkap Kebodohannya
Oleh: Rizani Oktaviansyah
“AI semakin cerdas, tapi yang terlihat bukan kecerdasannya—melainkan siapa yang menggunakannya. Yang jujur dan cerdas, pantulannya adalah kejeniusannya. Yang malas, pantulannya adalah kebodohan sendiri.”
Kalimat ini terdengar seperti sindiran, tapi sesungguhnya adalah doa terbalik — doa agar manusia tak kehilangan kecerdasannya sendiri di tengah kecerdasan ciptaannya.
AI: Bukan Makhluk Hidup, Tapi Terasa Hidup
Artificial Intelligence (AI) bukan makhluk hidup, tapi perilakunya kadang terasa lebih hidup daripada manusia. Ia diciptakan untuk meniru cara kita berpikir, belajar, mengambil keputusan, bahkan berimajinasi.
Istilah “Artificial Intelligence” pertama kali muncul pada 1956, dari ilmuwan komputer John McCarthy dan beberapa rekannya — Marvin Minsky, Herbert Simon, Allen Newell, dan Claude Shannon — di Dartmouth College, Amerika Serikat. Mereka punya mimpi gila: membuat mesin yang bisa berpikir seperti manusia.
Kini, mimpi itu menjadi kenyataan. Tapi seperti semua mimpi besar, ia datang dengan harga mahal. Begitu mesin mulai berpikir, sebagian manusia justru berhenti berpikir.
AI Sebagai Cermin Manusia
Suatu hari, saya duduk di sebuah café. Seorang anak muda mendekat dengan laptop di tangannya. Ia bilang sedang “belajar AI.”
Saya tanya, “Untuk apa?”
Ia menjawab, “Biar bisa menulis cepat, Pak.”
Saya tersenyum pelan. Dulu saya juga begitu — ingin cepat selesai, cepat berhasil, cepat pintar. Tapi hidup selalu mengajarkan: yang cepat jarang mendalam.
Ia menunjukkan hasil tulisannya: rapi, padat, dan dingin. Tidak ada denyut manusia di dalamnya.
Saya bilang, “AI bisa menulis kalimat, tapi tidak bisa menulis perasaan.”
Ia terdiam lama.
AI memang seperti kaca bening. Ia hanya memantulkan siapa kita sebenarnya.
Kalau yang menatapnya manusia jujur dan cerdas, pantulannya adalah kejeniusannya.
Kalau yang menatapnya pemalas, yang tampak hanyalah kebodohannya sendiri.
Bahaya “Otot Berpikir” yang Malas
Dulu, manusia menciptakan mesin untuk meringankan pekerjaan fisik. Sekarang, kita menciptakan AI untuk meringankan pekerjaan otak. Sayangnya, yang ringan seringkali membuat kita kehilangan otot — termasuk otot berpikir.
AI tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah manusia yang menyerahkan seluruh pikirannya pada AI, lalu merasa itu kecerdasan.
Seorang penulis pernah menulis: “Teknologi tidak menggantikan rasa ingin tahu.” Benar. AI bisa memberi jawaban dalam dua detik, tapi tidak bisa menumbuhkan rasa penasaran yang membuat manusia berkembang.
Kita sibuk mempercantik hasil dari AI, tapi lupa memperdalam isi kepala sendiri. Kita kagum pada mesin, tapi pelan-pelan kehilangan kagum pada diri sendiri.
AI: Alat, Bukan Pengganti
AI bukan musuh. Ia bisa jadi pembantu. AI bisa membantu pelajar di pelosok memahami dunia. Bisa membantu jurnalis menulis lebih rapi, dokter mendiagnosis lebih cepat, petani memantau cuaca lebih akurat.
AI adalah alat — nasib setiap alat ditentukan oleh siapa yang memegangnya.
Di tangan orang cerdas, AI memperluas dunia.
Di tangan orang malas, AI mempersempit pikiran.
Namun, AI tidak memiliki akal dan budi. Akal membuat manusia mampu menimbang benar dan salah. Budi membuat manusia mampu berempati, berperasaan, dan berbelas kasih. AI tidak punya keduanya.
Ia tidak tahu apa arti kebenaran, hanya tahu apa yang paling mungkin benar menurut data. Ia tidak mengenal kasih, hanya mengenali pola kata yang menyerupai kasih. AI bisa menulis puisi, tapi tidak bisa mencintai. Bisa menulis opini, tapi tidak tahu makna keadilan.
Menyerahkan keputusan moral pada AI sama seperti meminta cermin menentukan siapa yang paling tampan. AI bisa memantulkan wajah kita, tapi tidak tahu makna di balik sorot mata itu.
AI dan Wartawan
Bagi wartawan, AI hanyalah alat bantu — perpanjangan pena, bukan pengganti mata dan telinga. Ia bisa membantu merapikan tulisan, memeriksa data, atau mencari referensi.
Tapi wartawan sejati tetap harus turun ke lapangan. Ia harus melihat, mendengar, dan merasakan sendiri. Ia harus tetap berpegang pada prinsip lama yang tidak pernah basi: 5W + 1H dan cover both sides.
AI tidak bisa membaca ekspresi wajah narasumber. Tidak bisa merasakan hawa panas ruang konferensi, atau tangis kecil di balik kalimat “saya baik-baik saja.”
Liputan bukan sekadar tulisan. Ia adalah perjalanan nurani. Dan itu, sejauh apa pun AI berkembang, tetap wilayah manusia.
Beberapa minggu lalu, saya bertemu lagi dengan anak muda di warung kopi itu. Kali ini ia membawa buku, bukan laptop. Katanya, “Saya masih pakai AI, Pak. Tapi sekarang buat belajar, bukan buat menggantikan saya.”
Saya tersenyum. Mungkin begitulah seharusnya hubungan manusia dengan AI — bukan sebagai tuan, bukan pula sebagai hamba, tapi sebagai rekan berpikir.
Kesimpulan: AI Hanya Cermin
AI bukan makhluk hidup. Tapi ia hidup di dalam kepala manusia yang menciptakannya. Ia lahir dari mimpi John McCarthy dan kawan-kawan untuk memahami kecerdasan manusia, tapi kini justru menguji seberapa cerdas kita mempertahankannya.
AI hanya secerdas manusia yang mengajarinya, dan hanya akan menjadi seidiot manusia yang menggunakannya tanpa berpikir.
AI hanyalah cermin. Yang terlihat di sana bukan masa depan mesin — tapi masa depan kita sendiri.
Dan satu lagi: AI tidak punya solusi bagi wartawan yang buntu. Apalagi memberikan pinjaman uang. Untuk itu, manusia tetap harus mencari akalnya sendiri — dan keberanian untuk hidup.(penulis mantan wartawan)
